Kiriman Sampah Plastik: ‘Dosa’ Tersembunyi Negara Barat

Indonesia acapkali digambarkan oleh media ataupun organisasi mancanegara sebagai salah satu penghasil limbah plastik terbesar di dunia. Meski pernyataan tersebut dapat dikatakan benar sampai pada batas tertentu, namun sudah menjadi rahasia umum kalau pihak-pihak luar yang kerap mengarahkan telunjuk mereka ke Indonesia, turut berkontribusi dengan kiriman sampah plastik dari negara mereka ke Tanah Air.

Hal tersebut disampaikan oleh World Economic Forum pada akhir 2019 lalu. Adapun, badan yang bermarkas di Swiss itu menekankan poin-poin penting sebagai berikut:

1. Mayoritas Kiriman Limbah Berasal dari Negara Barat

Sebagian besar limbah plastik ini sendiri didapat dari negara-negara di Eropa, Amerika Utara, hingga Australia. Meski tergolong sebagai negara maju yang memiliki warga dengan kesadaran serta tingkat pengontrolan sampah yang lebih baik dan segudang solusi untuk permasalahan ini, tetapi hal tersebut tidak menghalangi sampah-sampah tersebut untuk diolah kembali seratus persen. Tetap ada jumlah besar dari kiriman sampah plastik itu, baik secara legal ataupun ilegal, yang dikirimkan ke Indonesia.

2. Hanya Segelitir Kiriman Sampah Plastik yang bisa Diadur Ulang

Tidak jarang dalam kiriman sampah plastik yang diterima, terdapat kontaminasi sampah plastik jenis lain yang tidak dapat didaur ulang serta Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Berdasarkan pemberitaan BBC Indonesia yang berjudul: Sampah plastik: Mengapa sejumlah negara memulangkan limbah ke negara pengirim?, bahkan disebutkan kalau hanya segelintir limbah tersebut yang memenuhi kategori dapat didaur ulang.

Limbah yang tidak dapat didaur ulang itu pun memicu keresahan karena kerap dibakar secara ilegal dan ditimbun di sungai ataupun tempat pembuangan akhir yang menimbulkan ancaman bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Buntutnya, pada pertengahan 2019 lalu, negara-negara importir sampah plastik seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Korea Selatan, hingga India pun melakukan protes keras hingga pemulangan limbah tersebut ke negara asalnya.

3. Perburuk Situasi Indonesia

Sebagai negara yang masih bergelut dengan masalah sampahnya sendiri, sudah sewajarnya bila kiriman dari negara-negara maju tersebut akan memperburuk situasi Indonesia. Bahkan, bila ditotal, jumlah gabungan antara limbah lokal dengan kiriman tersebut diperkirakan menyentuh angka hingga 9 juta ton per tahun di ranah domestik.

Di luar limbah yang masih cukup berkualitas untuk dapat didaur ulang oleh pabrik plastik lokal, terdapat limbah sisa berkualitas rendah yang digunakan sebagai sumber bahan bakar oleh bisnis lokal. Seperti yang sudah umum diketahui, plastik yang dibakar ini dapat menyebabkan masalah pernafasan bagi orang yang menghirup asapnya.

Selain itu, sebagai dampak dari permasalahan ini, peneliti dari Jaringan Pengeliminasi Polusi Internasional (IPEN), juga menemukan adanya kontaminasi plastik di dalam jaringan makanan lokal. Kandungan plastik tersebut memiliki potensi untuk memicu penyakit seperti kanker, diabetes, hingga kerusakan sistem imun jika masuk ke tubuh.

Dari rangkuman informasi tersebut, dapat diketahui kalau negara-negara barat tetap memiliki ‘dosa’-nya sendiri atas masalah yang sedang terjadi saat ini. Meski sering menjadi pionir atas penetapan regulasi serta inovasi dalam masalah perplastikan internasional, hal tersebut tidak lantas membuat kita harus sepenuhnya ‘berkiblat’ ke barat.

Belajar dari kasus di atas tentunya kita akan sepakat bila Indonesia menangani permasalahan ini dengan caranya sendiri. Sebagai ‘tuan rumah’ tentunya kita-lah yang paling tahu solusi terbaik untuk rumah kita sendiri. Selama ada cara lain yang kita rasa efektif dan sesuai dengan masalah di wilayah kita, melihat ke ‘barat’ tentunya tidak lagi harus menjadi suatu keniscayaan.

Share: